Senin, 19 Oktober 2009

Pengusaha Kecil Tak Hanya Butuh Pendanaan

Oleh : Gung Panggodo

Plaza Senayan Jakarta pada 2 Oktober ramai dikunjungi orang berbusana batik. Melalui sentuhan para desainer, batik menjadi busana trendy para eksekutif muda, remaja, hingga anak-anak, yang menyambangi pusat perbelanjaan kelas menengah atas di Ibu Kota itu.

Suasana itu sekaligus mencerminkan meriahnya sambutan masyarakat atas pengakuan UNESCO (United Nation Educations Social and Cultural Organization) terhadap batik sebagai bentuk budaya bukan benda asli Indonesia.

Namun, hal ini tidak seiring sejalan dengan nasib para seniman batik. Bagaimana tidak, bisnis batik ternyata lebih menguntungkan para pedagang atau broker, dan bukan perajinnya.

Contohnya adalah untuk menghasilkan satu helai kain batik tulis sutra berkualitas tinggi, dibutuhkan waktu pengerjaan 1,5-2 bulan.

Kain yang diproduksi oleh Haryadi, seniman batik dari desa Bogem, Prambanan, Yogyakarta, misalnya, dihargai Rp1,5 juta -- Rp2 juta. Nyatanya, di Swiss dan Skandinavia produk seni itu dibanderol Rp16 juta, atau lebih dari 8 kali lipat.

Padahal, omzet yang dihasilkan Haryadi dengan mempekerjakan 23 orang perajin yang mayoritas berasal dari Bayat, Klaten, Jateng, itu rata-rata hanya Rp10 juta-Rp15 juta per bulan.
Oleh sebab itu, Haryadi berharap lembaga pembiayaan usaha kecil perlu juga membuka akses pasar agar nilai lebihnya bisa dinikmati para pengusaha kecil.

Haryadi merupakan gambaran satu pengusaha kecil yang mendapatkan pembiayaan dari PT Permodalan Nasional Madani (PNM) untuk memperluas tempat usaha. Desainer batik itu kini kewalahan melayani pesanan yang semakin banyak.

Pria yang memulai usaha batik sejak 2000 itu menempati rumah tinggal yang dijadikan tempat usaha, sekaligus merangkap bengkel las. Oleh sebab itu, pinjaman yang diperoleh dari PNM akan dipakai untuk mencari tempat usaha baru yang lebih luas dan layak.

Lain halnya dengan Sudanto, pengusaha penganan ringan peyek asal Pujon, Pelemmadu, Bantul, yang merupakan contoh lain nasabah PNM.

Sudanto mempekerjakan 40 ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya. Dengan tambahan modal kerja Rp150 juta, dia mampu membukukan omzet Rp250 juta-Rp300 juta per bulan.

Setiap bungkus berisi delapan buah peyek itu dijual Rp1.800, dengan keuntungan Rp200. Pembuat peyek Mak Sus-diambil dari nama istrinya Susi-ini mampu memproduksi 4.000 bungkus per hari, artinya dia bisa meraup untung Rp800.000 per hari.

Sudanto punya strategi jitu yaitu memasarkan produknya ke luar wilayah Yogyakarta, yaitu ke Jakarta, Solo, dan Madiun. Apabila dia hanya menjual peyek ke Yogyakarta, keuntungannya sangat tipis karena pesaingnya banyak.

Bayangkan, di Pelemmadu ada 1.000-an orang yang menjalankan bisnis peyek. Desa ini merupakan sentra produksi peyek, yang akan diperluas hingga satu kecamatan.

"Saya menantang PNM untuk memberikan pembiayaan hingga Rp500 juta untuk memperluas usaha. Dengan modal itu saya akan menyerap tambahan tenaga kerja hingga tiga kali lipatnya," dia berujar.

Nilai lebih

Kepala Cabang PNM Yogyakarta Budiman mengemukakan pembiayaan di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan meningkat signifikan. Bila pada Juli Rp9 miliar, pada Agustus sebanyak Rp11,165 miliar, dan pada September Rp37 miliar.

Direktur Operasi PNM Lintang Nugroho mengatakan nilai lebih membiayai pengusaha kecil adalah dari setiap nasabah akan mempekerjakan 2-3 pegawai.

Dengan 116 orang nasabah di wilayah Yogyakarta, pembiayaan PNM setidaknya menghidupi lebih dari 300 keluarga.

Preskom PNM Hermanto Siregar menandaskan penggerak utama perekonomian Indonesia teletak di pundak para pengusaha mikro dan kecil. Pengusaha mikro mencapai 46,7% dari jumlah pengusaha, selebihnya [53,1%] adalah pengusaha kecil, sedangkan pengusaha menengah besar hanya 0,2%.

"Perekonomian Indonesia akan dahsyat apabila pengusaha mikro bisa naik kelas menjadi pengusaha menengah, dan pengusaha menengah menjadi pengusaha besar," ujarnya.
Selain memberikan pembiayaan, kata Hermanto, PNM juga memberikan capacity building atau pendampingan dalam pengembangan usaha.

Oleh sebab itu, idealnya pembiayaan PNM bisa berkelanjutan sehingga hal itu sangat bergantung pada bagaimana BUMN ini ikut mengembangkan bisnis nasabahnya.

Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) ini memberikan beberapa kunci dalam mengembangkan usaha kecil, a.l. usaha tidak boleh dilakukan dengan asal-asalan dan bergantung pada pelaku pengusahanya.

Selain membutuhkan pembiayaan, pengembangan usaha kecil membutuhkan pengembangan pasar. "PNM harus membantu mengembangkan pasar produk-produk UKM dengan menyediakan akses dan informasi pasar melalui portal dan data base yang bisa dimanfaatkan oleh para nasabahnya."

Apabila skenario ini bisa berjalan baik, mestinya pengembangan pengusaha kecil bisa cepat dilakukan. PNM tentu harus memiliki kemampuan lebih. (gung.panggodo@bisnis.co.id)

Sumber : Bisnis Indonesia, 16.10.09.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar